Suami Bawel dan Nyebelin. Bab 4. Free Palestine

 "Sayang... maafin Abang ya, udah bikin kamu sebal. Juga ngomong kalo Abang belum bisa nyetir. Ya Abang belum bisa nyetir loh, belum profesional gitu. Jadi gak bisa diajak balapan. Abang belajar dulu, alhamdulillah dua bulan udah bisa gini. Nanti kalo uang Abang udah terkumpul banyak, kita beli mobil ya. Eh kamu mau mobil apa, gak mau mobil remot?"


Setelah mengantar teman-teman Napisa, Hafni menjadi versi bawelnya. Kostum ultramen juga telah diganti. Kini mereka berdua mau pulang ke rumahnya. "Mobil ini mau diantar kemana Bang," seloroh Napisa menepis omongan panjang Hafni. 


Hafni menjawab kalo Uden dan Ewan sudah menunggu di depan rumah mereka. Mereka yang mengantarkan mobil itu. Mereka juga tak lupa membawakan motor Hafni. Hal ini telah Hafni rencanakan, dari persiapan mobil, kostum dan waktu jalan-jalannya. Tadi mereka sempat pergi ke tiga tempat. Yaitu kebun binatang, taman kota dan museum.


"Kamu udah senang belum hari ini, kalo belum nanti lanjut besok?"


"Alhamdulillah senang kok Bang, cuma sempat kesal sih..."


"Hahah, maafin Abang ya kalo sering usilin kamu, bikin kamu kesal. Habisnya seru sih, hahaha."


Layaknya penjaga rumah atau satpam, dua anak buah Hafni itu dengan sigap menyambut kedatangan suami-istri itu. Hafni tak melupakan mereka berdua. Jadi ada oleh-oleh buat Uden dan Ewan. "Makasih banyak ya Bos. Kalo gitu kami pamit pulang... Assalamualaikum."


Hafni dan Napisa menjawab salam itu. Lalu masuk ke dalam rumah. Setelah pintu tertutup, Hafni memeluk istrinya itu. "Abang kepikiran Palestina Sayang... Gak bisa bayangkan kalo kita ada disana. Entah apa yang bisa Abang lakuin buat jaga kamu. Mungkin Abang cuma bisa planga-plongo melihat jasad-jasad yang berhamburan." lirih Hafni. Penjajah kini kembali beraksi dengan kejamnya. Tak peduli anak-anak, perempuan bahkan bayi sekalipun. 


Napisa hanya diam menyimak pembicaraan Hafni. Matanya berkaca-kaca, sedih haru mendengar tentang Palestina saat ini. "Kamu masih do'ain mereka kan Sayang? Ya setidaknya kalau kita gak bisa banyak membantu, kita bisa kok do'akan mereka. Oh ya, gimana kalo Abang beli lagi jilbab Palestina itu, kan hasilnya buat donasi juga tuh. Entar jilbab itu kamu bagiin aja buat temanmu..."


Napisa mengiyakan ucapan suaminya. Tak terasa mereka telah lama berdiri sambil pelukan. Hafni melepaskan pelukannya, lalu mulai bawel dan nyebelin lagi. Kali ini dia langsung kabur menuju kamar mandi. "Sayang, tolong ambilin handuknya ya. Makasih sama-sama Sayang. Makin Sayang Abang sama kamu, hehehe..."


Geleng-geleng kepala juga kebiasaan Napisa saat suaminya bertingkah begitu. Sebelum Napisa ingin mengambilkan handuk, ada suara ketukan pintu. Dia pun membukakan pintu itu. Ternyata ada Ayya, keponakan yang berasa saudara atau sepupu. 


"Kakak Hafninya ada Kak?"


"Ada, lagi mandi. Masuk dulu Ay," ajak Napisa. Sebenarnya Napisa ingin menghabiskan waktu bersama berdua saja, setelah mereka selesai mandi dan lainnya. Tapi karena ada Ayya, berarti tak tercapai harapan Napisa. Sebab Ayya termasuk cerewet juga. 


"Mau minum apa kamu, Ayya?"


"Eh gak usah Kak, aku tadi baru makan bareng teman-teman. Kesini cuma mau liat kalian aja. Sekalian tanya-tanya, hihihi."


Akhirnya Napisa duduk menemani Ayya dulu, tanpa ingat pesan suaminya, yakni ambilkan handuk. Napisa yang pelupa ini, jadi mencoba mengobrol ringan dengan ponakan yang cantik ini. Walau kadang dia bisa cemburu kalo Hafni akrab dengan Ayya ini. "Sayang, handuknya mana? Kamu lupa ya... huh dasar istriku tercinta ini, ada-ada saja. Yodah Abang ambil sendiri nih ya. Gak papa kan lantainya basah kemana-mana. Kan gak ada handuknya..."


Mendengar itu Ayya tertawa terbahak-bahak. Sontak Napisa merasa malu, lalu cepat pergi dari situ, mengambilkan handuk untuk Hafni. "Bang, jangan aneh-aneh deh omongan kamu. Itu ada Ayya di ruang tamu," bisik Napisa pada Hafni. Tapi namanya juga suami nyebelin, ia malah memuji-muji istrinya itu dan ngomong apa saja biar didengar Ayya. 


Ayya kebagian cengar-cengir saja. Tak bisa meniru adegan drama cinta itu. Sebab belum menikah. Sudah kebiasaan Ayya juga memanggil Hafni dengan panggilan 'Kakak' bukan 'Paman'. Itu karena jarak umur antara mereka tak terlalu jauh. 


Padahal Napisa mau mandi dulu atau istirahat di kamar. Tak mau ikut obrolan Hafni dan Ayya. Namun, karena rasa cemburu dan penasaran, akhirnya dia putuskan untuk mendengarkan ocehan mereka berdua. "Romantis banget ya kalian berdua Kak. Mudahan aku nanti bisa kayak kalian, hehe."


"Oh ya, kamu tadi kan sama kawanmu, mana mereka sekarang Ay?" tanya Hafni. 


"Masih ada perlu dulu Kak. Sibuk pokoknya. Daripada ikut capek sama mereka, mending aku nonton drama cinta kalian. Hahaha..." Ayya dan Hafni tertawa berdua, menyisakan Napisa yang malu-malu sendiri. 


Untung saja Ayya ditelpon temannya. Jadi dia pamit undur diri. Napisa pun lega jadinya. Dia sempat cemberut karena suaminya itu. Tapi tak sampai mau ngomel-ngomel. Dia pun mandi dulu, baru menghabiskan waktu bersama sebentar sebelum mereka tidur. 


"Bang, aku sayang kamu. Jangan bosen mencintai aku ya."


"Iya-iya Sayang, pastinya dong. Abang juga cinta kamu... Abang tau rasanya cemburu Sayang. Sama Ayya aja kamu cemburu kan Sayang, hahah. Belum lagi nanti kalo semua sepupu cewek aku pada datang, beuh gak mau pisah kamu sama Abang. Makanya Abang gak mau nikah lagi, dan semoga gak nikah lagi ya. Cukup kamu aja jodoh Abang."


Napisa selalu mendoakan agar suami menjadi imam yang baik, setia dan tetap harmonis sampai akhir hayat mereka. Napisa dan Hafni pun ke kamar mereka, bersiap mau tidur bareng. 


"Baca do'a dulu Sayang ya. Kamu ingat gak?"


"Ingat kok Bang..."


"Oh, kirain. Kalo lupa, nanti baca google map ya... Eh aneh, jelaslah baca di risalah amaliah." Setelah itu mereka memejamkan matanya agar bisa tidur. Dan mereka sambil pelukan agar lebih tenang dan damai. Semoga Palestina juga bisa merasa tenang dan damai nantinya, aamiin. #Freepalestine


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sana Poligami!

SBDN Bab 11. Kok Bisa Setia?

Suami Bawel dan Nyebelin. Bab 8. Diundang Podcast