Satu CeritA Versi KitA

SAVA bagian 1. Mencari Cinta 

Oleh: A. Medianto 


"Tanpa cinta hidup tak berarti." Aku menemukan kalimat itu dalam tulisan yang baru ku baca tadi. Kebingunganku sedikit pudar. Tujuanku akan ku putuskan. Mencari cinta tampaknya bukan pilihan yang aneh.


Aku bercermin di cermin. "Cantik juga aku ya. Hehe," ujarku sendiri sembari merias wajahku ini. Tiba-tiba ponselku berdering, tertera nama Ayu Mungil terbaca olehku. "Ngapain nih nelpon sore-sore ya?" gumamku. Akhirnya ku angkat panggilan itu.


"Erni... kamu dimana? Ini ada yang cariin kamu nih!" 


"Siapa Yu? Cewek atau cowok nih?" 


"Cowok lah masa banci. Udah lah kamu kesini aja temuin aku di taman. Aku tungguin ya, bye-bye..." tutup Ayu mengakhiri panggilan. Sontak saja degup jantungku sedikit lebih cepat ketimbang sebelumnya. Apakah cowok yang akan aku temui ini adalah cintaku?


Dari pada mikirin yang belum pasti, mending langsung temui saja mereka. Pakaianku udah rapi dan bersih, tak lupa pake kerudung dan menutup aurat. Karena kecantikanku masih ada, tak akan hilang walau tertutup begini. 


Aku berjalan menuju taman. Jaraknya tak jauh dari rumahku. Meski masih berada di desa dan kurang terkenal layaknya taman kota, taman ini sangat indah dan menawan. Kayak aku juga sih, hehe.


Aku beberapa kali menelpon teman mungilku itu, tapi selalu tak aktif. "Hey sini!" Panggil seseorang padaku. Aku terpaku melihatnya. Dari sini saja udah keliatan gantengnya, apalagi dari dekat. 


"Jadi kamu cowok itu ya, mana Ayu?" Mataku celingukan mencari sosok Ayu. Pemuda ini tak menjawab pertanyaanku. "Namamu siapa, tinggal dimana?" Suara khasnya bertanya padaku yang makin gugup. 


"Er... Erni Bang. Erni Maulida, tinggal di desa ini."


"Oh orang sini ya. Kalo gitu pas kali, aku mau tanya nih. Toko pak Haji Abdul dimana ya?" Ucapnya bertanya lagi. Ia menjelaskan maksudnya memanggilku tadi. Cuma hanya ingin bertanya alamat pak Haji Abdul saja. Itu saja, tak lebih. Aku kira mau kenal aku lebih jauh. 


"Eh kamu disini ya. Pantes gak keliatan dari tadi." Kata Ayu datang tiba-tiba. Si cowok ganteng itu juga langsung pergi begitu saja. Dan cowok yang dimaksud Ayu tadi adalah akang tukang bakso, bukan cowok barusan. 


***


SAVA bagian 2. Jangan Buru-buru

Oleh: Indrina 


Aku merasa terburu-buru ingin mendapatkan cinta. Nyatanya cinta yang kucari bukan lah pacaran seperti teman-temanku. Yang berarti cinta dari pasangan halal. Jadi, siapkah aku menikah saat ini?


"Aku duluan ya! Dadah Cantik..." pamit Ayu. Aku melambaikan tangan sebagai balasannya.  Kadang aku bisa iri pada teman mungilku itu. Punya orang tua, saudara dan ekonomi yang lebih dari cukup. Tapi inilah aku, kehidupanku, semua masih baik-baik saja.


Aku masih punya rumah, punya teman dan punya tetangga yang baik layaknya keluarga sendiri. Tak heran uang jajanku dulu, mereka yang kasih padaku, apalagi makanan untuk mengisi perut. 


Mungkin karena tak punya anak, mereka anggap aku anaknya sendiri. Namun, mereka jarang di rumah. Sibuk berdagang hingga beberapa hari. Aku pun tak bisa membantu mereka. 


"Assamuaikum, aku pulang!"


Dan seperti biasa, tak ada yang menjawab. Kesendirian ini sudah maklum olehku. Aku tak perlu sedih, sebab ini sementara. Masa depan juga tak perlu aku khawatirkan, itu sudah di atur oleh-Nya. Aku hanya perlu berusaha apa yang kubisa serta berdoa ditambah tawakkal pada-Nya.


Jika dipikirkan, hidupku ini membosankan dan  kesepian saja. Namun, semua itu ada pembelajarannya. Waktu juga masih berjalan. Jadi, semua ada saatnya. Tak perlu buru-buru. Jika ingin mencari cinta, cintailah dulu diri sendiri, lalu orang terdekat.


Ketukan pintu terdengar oleh telingaku. Suara orang itu tak terucap salam serta kata-kata lainnya. Aku pun membuka pintu perlahan. "Assamuaikum nak Maulida. Ini makanan buat kamu, dimakan ya! Jangan makan plastiknya ya..." canda bapak Ahim, tetangga baikku. "Waalaikumussalam Pak, baru pulang ya Pak? Ibu mana?"


Pak Ahim berkata kalo istrinya sedang duduk di sofa, karena masih kelelahan. Setelah itu beliau langsung pamit, tak lupa tawa gelaknya bercanda padaku lagi. Aku senang sekali. Meski tak mendapat cinta dari pasangan, setidaknya aku telah mendapatkan cinta dan kasih sayang dari kedua pasangan ini, tetangga baikku. 


***


SAVA Bagian 3. Diajak Kerja

Oleh: Yuldari Hana


Keesokan harinya, aku menjalani kehidupan layaknya manusia normal. Bersih-bersih rumah, menyapu halaman, cuci pakaian lalu sarapan. Dulu aku bisa ikut membantu pekerjaan temanku saat libur sekolah. Kini dia pindah ke kota agar tak jauh dari tempatnya kuliah nanti.


Walau tak bekerja, tabungan uangku masih ada. Jadi untuk hari-hari kedepannya tak begitu risau. Setelah makan tadi, aku duduk santai di ruang tamu yang sederhana. Aku asyik memainkan hape-ku. Sampai tak tau ada temanku yang cerewet ini datang. 


"Anteng banget main hp. Aku kesini mau ngomong Erni, bukan main hp bareng. Apa jangan-jangan kamu lagi chattan tuh ama cowok cakep. Liat dong Er... sini aku mau liat juga. Ihhh, pelit amat si Cantik ini!" Ucapnya lalu ngambek. Menghadapi si cerewet Selvia, aku lebih suka diam mendengarkan dan kadang cuek padanya.


Kemudian aku berdiri untuk mengambil minuman dan sedikit camilan. "Aku ke dapur dulu ya, kamu ngomong aja Sel." 


"Emangnya aku boneka apa, ngomong sendiri. Boneka aja ngomong kalo ada yang hidupin dia, pencet tombol on gitu. Itu juga harus pake baterai, kalo enggak... diam aja tuh," cerocosnya sendirian. Aku geleng-geleng dengan sikapnya itu. 


Setelah aku membawa minuman dan camilan, rupanya dia belum off juga tuh mulutnya. "Kamu masih ngomongin boneka Sel? Ada-ada aja kamu ini," aku tertawa kecil. Dia meminum air yang ku sediakan. Minuman itu layaknya bahan bakar agar lidahnya terus aktif bicara. 


Lalu ku tanya dia mau ngomongin apa. "Oh iya, aku kesini mau ngajak kamu ke kota. Ngari kerja gitu. Kita kan udah cantik, jadi mudah tuh cari pekerjaan. Kan kamu tau sendiri syarat pelamar kerjaan itu harus berpenampilan menarik. Kalo kita mah lebih dari menarik, cantik banget malah. Kamu sih, aku lumayan aja. Hehe..." penuturannya lancar tak ada salah ucap. Emang beda sih si cerewet ini.


"Emang kerja apa dan dimana?" Tanyaku, sontak ia hanya nyengir tak langsung bicara panjang lebar. "Hehe, kamu aja tentuin. Aku sih ikut kamu aja..." Aku kaget. Rupanya baru rencana.


***


SAVA Bagian 4. SDGZ

Oleh: Baddie 


Selvia baru saja pulang. Aku merasa lega, ocehannya tak berkicau lagi. Jadi ada waktu luang buatku menghibur diri, santai dulu gak zih/sih (SDGZ). 


Salah satu hiburan yang bisa kulakukan adalah bermain game. Memang agak aneh sih anak cewek main game layaknya hobi cowok.  Tapi Windah, temanku itu yang pertama mengenalkan bagaimana serunya game itu. Pantas saja banyak cowok mending main game ketimbang panjat pohon durian. Iya kan?


"Main game apa ya?" Bingungku sendiri. Sepertinya aku harus cari game baru di play store. Game gratis dan offline merupakan tujuanku. Sebab aku bukan sultan yang banyak  fulus dan lebih menghemat kouta internet.


Mataku fokus dalam pencarian. "Nah ini bagus kayaknya..." aku pun mengunduh game tersebut. Nama gamenya; "Wasteland Story atau Kisah Tanah Terlantar:RPG" 


Aku menduga game ini ada banyak aksinya, petualangan dan pastinya ada kisah menariknya. Dan tepat sekali, baru 30 menit aku sudah menyukai permaian ini. Beberapa menit kemudian, aku off sebentar. Aku mau tanya game ini sama Windah dulu via WA.


[Erni]: Assamuaikum Win, kamu masih main game kan?


[Windah]: Waalaikumsalam... iya dong. Aku kan ratu gamer yang sangat cantik. Tapi cantikan kamu sih.


[Erni]: Iya iya deh. Kamu tau gak game Wasteland Story? Aku barusan main nih.


[Windah]: Heheh, kamu telat. Aku udah tamat game itu. Aku lagi main game lain nih. Seru loh!


[Erni]: Oh gitu ya. Yodah deh.... eh btw kamu main game apa emang?


[Windah]: Ini loh Cisini Stories. Udah dulu ya, aku mau lanjut, dadah.


Cisini Stories? Aku jadi penasaran game seperti apa itu. Aku pun mencari tau di google tentang permainan ini. Oh ternyata game yang ada cinta-cintaannya. Tumben Windah main game kayak gini. Daripada mikirin dia, lebih baik santai dulu gak zih...


***


SAVA Bagian 5. Enak 

Oleh: Melli Sapitri 


Meski aku kini hidup sendirian, tapi teman-temanku ada banyak dan baik-baik. Semenjak ibuku meninggal waktu aku baru SMP, mereka menghibur dan semakin akrab denganku. 


Setelah ku rasa cukup santainya dalam game, aku mau melakukan hal lain. Namun tak jadi, sebab ada tamu yang mengetuk pintu. "Iya iya bentar..." balasku dari dalam. Orang itu masih mengetuk pintu, semakin keras dan nyaring bunyinya. Ah, pasti ini ulah salah satu temanku.


"Tara... Aku datang Cantik! Kamu kangen aku gak? Aku banyak nih bawa oleh-oleh," seringainya penuh semangat. "Iya Muna, tapi jangan bikin aku kesal juga, kamu ketok pintu gitu!" 


"Hehe, sengaja aku itu mah. Sebagai permintaan maafnya, aku kasih semua ini gratis loh. Cuma buat kamu aja kok Cantik..." katanya sambil usil. Emang kebiasaan si Muna nih begini, sifatnya emang bikin sebal tapi ngangenin, hehe.


Kami pun masuk ke dalam. "Oh ya Cantik, keknya aku kuliah di Kalimantan aja deh. Udah betah gitu." Aku menyimak dengan saksama. Tak perlu heran jika aku terus dipanggil 'Cantik' ya, soalnya itu memang mereka yang ngasih gelar itu hahah.


"Sebelumnya kamu mau dimana kuliahnya? Perasaan kamu gak pernah ngomong mau kuliah Mun..." Dia tertawa pelan. Lalu dia bercerita saat dia dan orang tuanya ke Kalimantan untuk menghadiri acara pernikahan keluarganya. Muna yang pertama kali kesana jadi kepincut pengen disana saja, tentunya karena banyak makanan enak katanya.


Lalu Muna merogoh beberapa buah dan makanan dari tas plastik. "Nih ada mangga Kasturi Banjar, itu ada Pampakin atau buah Lai, langsat... nah ini ada dodol Kandangan, serta mie Indomie Soto Banjar, beuh enak banget loh." Muna sangat bersemangat jika membahas makanan atau hal kuliner. 


Katanya jika bisa, dia bawa masakan seperti masak Bom, Paliat dan sop khas Banjar, pasti dia bawakan kerena se-enak itu rasanya. Kemudian dia izin ke dapurku mau memasakkan mie untukku makan. "Wah enak Mun, kamu gak buat untuk kamu juga?" Pujiku setelah beberapa sendok mie ini ku coba. "Aku udah kenyang Cantik, hehehe."


***


SAVA Bagian 6. Lupa Mau Ngapain

Oleh: Hutami Aisya Fleya 


"Abis ini kita ke taman yuk! Katanya kang Pahmi jualan bakso disitu..." 


"Huh kamu itu ya, makan mulu. Oke deh, aku siap-siap dulu ya." Aku pun ke kamar untuk ganti pakaian. Berbeda dengan cewek kebanyakan, aku sih alami aja. Enggak banyak make-up ini itu, apalagi yang mahal-mahal. Jadi sebentar saja aku sudah siap tuk menemani si Dokan (doyan makan), Muna Anggraeni.


Ternyata Muna sedang ngobrol dengan temanku yang berperawakan kecil nan imut. Ya siapa lagi kalo bukan Ayu si Mungil. Aku ikut nimbrung dalam omongan mereka. "Ya belum pasti sih, yang pasti itu makanannya enak-enak." 


"Oh pantesan ngebet betul pengen kesana. Eh cowoknya ganteng-ganteng gak?" Tanya Ayu. Aku dan Muna sontak tertawa bersama. Ayu ini beda dengan Muna yang omongannya tentang makanan. Dia lebih banyak bicara tentang cowok gitu. Lebih-lebih jika cowok yang dibahas itu berwajah rupawan, pasti si Mungil ini bersemangat. 


Tak heran kemarin itu dia bilangnya, "Ada cowok nih cariin kamu." Padahal bisa aja langsung bilang, "Ini kang Pahmi cariin kamu." Yang mana kang Pahmi ini belum menikah dan wajahnya cukup ganteng. Sifatnya juga ramah dan baik, membuat pembeli jadi pelanggan setianya. Ayu dan Muna sih, aku mah pembeli biasa aja.


"Hahaha..."


"Iya kan, hampir semua murid tuh kena hukum. Taunya salah kelas, untung Selvia protes."


"Iya iya. Eh btw Selvia jadi kerja ke luar kota gak sih? Katanya gitu." Aku pun menjawab pertanyaan Muna, kalo si cerewet itu baru punya rencana. Belum ada kepastiannya. Kami pun lanjut asyik cerita lagi, tentang apa pun itu.


Lalu aku mengambil buah-buahan pemberian Muna tadi, untuk kami makan bersama. Pembicaraan pun semakin seru. Kini topik pembahasan jadi tak karuan. Kadang ngomongin manusia, hewan, makanan, lalu teknologi. 


Tak sadar aku berpakaian rapi dan indah begini mau ngapain tadi. " Mun, kita tadi mau ngapain ya. Kok aku ganti baju gini?" Heranku.

"Oh iya ya, kita mau kemana?" Balas Muna juga bingung. Aku melirik ke Ayu, "Hehe, aku juga lupa mau ngapain." Kami pun tertawa karena lupa bareng.


***


SAVA Bagian 7. Bersedihlah! 

Oleh: Sadriansyah 


Kepulangan dua temanku, membuatku kembali dalam kesendirian. Hidup sebatang kara begini, bukanlah impian yang kudambakan. Kehadiran seseorang yang slalu menemani, adalah harapanku agar hidup lebih berharga. Kerinduan pada yang telah tiada juga sering menyelimuti, seolah dinginnya jiwaku tak pernah berhenti. 


"Aku kangen kalian Bunda dan Ayah..." tuturku pelan dalam sepi. "Dan padamu juga (suamiku kelak)" tambahku dalam hati. Ya aku merindu sebelum bertemu dengan jodohku. Bayangan akan paras dan sikapnya pun belum kuketahui, begitu pula nama dan asalnya. 


Wahai jiwa yang lemah, hati nan gelisah. Pikiran yang kacau, perasaan tak karuan. "Bersedihlah! Kamu berhak menangisi dirimu saat ini." Lirihku dalam hati. Bahkan air dari langit, mulai berjatuhan. Menggambarkan diriku, yang juga akan menjatuhkan air mata. 


Dan tangisan pun tak dapat kubendung, turun begitu saja. Mengikuti hujan yang semakin derasnya. Isakan tangisku membersamai alunan suaranya. Seolah mendukung lara tanpa berkata. 


Air mata mulai mengering. Namun hujan tak kunjung pergi. Saat itulah terngiang olehku kalimat hangat bunda. "Kamu anak yang hebat... sini peluk Bunda!" Suatu ucapan yang tak akan terdengar lagi. Sedangkan ayahku? Hanya wajahnya yang pernah kulihat, sisanya telah terlupa olehku, karena aku masih bayi kata bundaku. Lalu ayah pergi tak akan kembali. 


Keadaan ini membuatku bimbang, apakah bisa melewati semua hal dalam kesendirian? Berapa lama lagi, aku bisa bertahan seperti ini? Masih maukah teman-temanku tertawa dan saling bercerita denganku?


Kadang kesedihan membuat orang ingat kembali, bahwa kebahagiaan saat ini hanyalah sementara. Namun, berarti  kesedihan juga sementara. 


***


SAVA Bagian 8. Dengan Menuntut Ilmu 

Oleh: M. Febi


Rasanya berlarut dalam kesedihan bukanlah hal baik. Kurebahkan badanku sampai pikiran tenang. Mengingat rencana yang akan kupilih selanjutnya.


Hari-hari sebelumnya, saat masih sekolah. Aku hanya fokus menuntut ilmu. Dengan menuntut ilmu saja, ekonomiku baik-baik saja. Meski kadang harus bantu teman dulu biar ada sedikit pemasukan. Mengenai cinta, telah kudapat dari teman-temanku, guru-guru serta tetangga baikku. Jadi, dengan menuntut ilmu saja kehidupanku normal dan berwarna. 


Kuputuskan bertanya pada Muna dulu tentang rencana kuliahnya. Apakah jadi kesana, atau cuma angan-angan belaka.


[Muna]: Kamu tim apa dulu, makanan atau cowok?


[Erni]: Bukan keduanya. Jadi gimana? Kalo kamu kuliah, insya Allah aku juga ikut kuliah disana...


[Muna]: Cie cie gak mau pisah dari aku ya, hehe. Tapi aku juga masih bingung, mending kamu tanya yang lain aja gih. 


[Erni]: Huh payah, iya iya. Nanti kabarin lagi ya!"


Lalu kucoba mengirim pesan ke beberapa teman sekelasku. Karena ada sebagian yang kurang akrab, mereka pun ada yang singkat balasnya. Bahkan ada yang cuek dan dingin, cuma membaca pesanku doang. Namun, dari semua respon mereka kendalanya hanya satu. Yakni uang atau biaya. 


Dari biaya hidup sehari-hari, bayar kos, serta biaya kuliah tiap semester. Namun semua itu tak menyurutkan niatku. Walau katanya ada efesiensi pemangkasan anggaran negara, sehinggga beasiswa tuk mahasiswa telah ditiadakan. Mungkin nanti aku bisa sambil kerja, supaya keuanganku tidak kering dan lenyap. 


Tiba-tiba ponselku berdering, ada pesan masuk. Nomornya tak dikenal, membuatku bingung ini nomor siapa dan darimana dapat nomorku. Kubaca chat itu dengan perlahan. Isinya mengajakku kuliah bareng. Namun dengan syarat yang bikin aku tercengang. Apa itu?


***

SAVA Bagian 9. Hore Nikah

Oleh: Tania Wardaty 


Isi chat itu mengajak kuliah bareng sebagai pasangan halal. Artinya ia mau menikahiku. Tapi siapa orang ini, mungkinkah cuma temenku yang usil, atau memang beneran ingin menjadi teman hidupku sampai akhir hayat?


Tak perlu banyak pikir, aku balas chat itu dengan berbagai pertanyaan. Ternyata ia adalah Mufidh, teman sekelasku yang juga adalah mantan ketua osis. Orangnya tampan, kalem, pintar, cool dan dermawan. Mungkin semua siswi waktu itu adalah para pengagumnya, aku pun juga termasuk, hehe. 


[Mufidh]: Besok aku ke rumahmu langsung ya, aku sama ortu-ku kesana tuk membicarakan hal ini.


Betapa senangnya hati ini, akhirnya ada lelaki yang ingin menikahiku. "Hore Nikah..." sorak gembira dalam hatiku. Saking senangnya, aku menari-nari sesuka ria. Aku pun memberi tau tetangga terbaikku, pak Ahim dan bu Sri. 


"Assalamualaikum Ayah, Bunda!" Panggilku nyaring di depan pintu mereka. Sempat bingung sendiri, karna memanggil mereka dengan 'Ayah dan Bunda' bukan 'Bapak dan Ibu' seperti biasa.


Pintu terbuka, wajah mereka tersenyum menyambutku. Tapi anehnya mereka tak bicara sepatah kata pun. "Besok Ayah dan Bunda ke rumah Maulida ya! Jadi wali nikah Maulida," ucapku penuh harapan. Hanya senyum dan anggukan kecil yang kulihat dari keduanya. Aku pun izin pamit pulang dan menyalimi tangan keduanya. 


Tak lupa aku beri kabar bahagia ini pada teman-temanku yang kucintai. Mereka semua antusias setelah tau berita ini. Ayu Mungil tak mau kalah, dengan kepercayaan dirinya yang tinggi, dia akan segera nikah dalam waktu dekat juga. 


Besok harinya, pagi-pagi sekali teman-temanku sudah menghampiriku. "Pokoknya nanti kamu gak boleh cuekin kami, gak boleh pamer mesra di depan kami, dan yang paling penting harus bahagia. Kalo tuh cowok nyakitin kamu, bilang ke aku! Biar aku omelin tuh sampai kupingnya panas. Hahaha," bawel Selvia yang membuat kami tertawa lepas.


Tak berselang lama. Rombongan Mufidh telah sampai dengan beberapa mobilnya. Ia keluar dengan wajah gantengnya. Namun tiba-tiba, Ayu Mungil menggoyang tubuhku. "Erni bangun! Kok tidur di lantai sih?" Aku pun terbangun dari mimpiku.


***

SAVA Bagian 10. Gak Suka

Oleh: Saiful Bahri 


Aku terbangun dari mimpiku. Ayu bingung padaku. "Aku ketiduran ya? Padahal tadi main hp..." 


"Itu mah tadi Cantik! Kalo sekarang baru bangun," celetuknya judes. Lalu wajahnya berubah semangat. "Eh aku baru dibeliin hp loh, buat keperluan kuliah, hehe. Aku baru disuruh kuliah, kan sebelumnya nggak ada tuh."


"Jangan bilang yang chat aku tadi tanpa nama, itu nomer baru kamu?" Ayu pun nyengir lalu mengakuinya. Dia memang mau mengajakku kuliah dengan syarat cari beasiswa dulu. "Kayaknya kamu gak sering liat berita deh?" Selidikku melirik Ayu nan imut ini. 


Lalu kujelaskan kalo Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Bahkan dalam keadaan gelap atau gawat darurat. Bukan menyalahkan persiden dan pejabatnya saja. Cuma gak suka dengan program yang nyeleneh abis. Bisa-bisa ada program makan bergizi gratis dalam skala besar, tapi kurang efektif. Ada yang kurang suka lalu dibuang sampe mubazir. Hingga ada yang keracunan. 


Itu salah satu program yang aku gak suka ya. Bukan gak baik, cuma kurang tepat. Ada masalah lain yang lebih baik diurus, kok bikin rencananya begini. Belum lagi tentang efisiensi anggaran negara. Kemungkinan beasiswa untuk kuliah ditiadakan, jadi ada sebagian mahasiswa putus kuliah. 


"Waduh gitu ya. Baru tau aku Er..."


"Huh, kamu sih banyak liat konten drama cowok-cowok ganteng. Jadi berita penting gini gak tau." Lalu Ayu melihat-lihat postingan lainnya yang ketinggalan dia ketahui. "Eh kasus korupsi yang 271 triliun itu masih ada ya. Eh kok hukumannya cuma segini?"


Aku tersenyum ketus. "Nah itu salah satu yang aku gak suka juga dalam negeri ini. Hukum untuk rakyat kecil tajam menyakitkan. Tapi untuk pejabat dan orang berduit, kek becanda gitu." 


"Makanya ini ada warga yang kabur loh ke luar negeri. Dapat kerja mudah, banyak hasilnya dan lebih tentram ketimbang di negara sendiri." Ujar Ayu sambil melihat hape-nya. 


***

SAVA Bagian 11. Seru Gak Tuh?

Oleh: Sapira Nafira 


"Eh baru aku ingat. Aku mau ngajakin kamu ke pasar malam nih!" 


"Ngapain?"


"Hello Cantik... yang namanya pasar ya mau belanja, jajan, makan-minum, jual-beli. Bukan mau rebahan. Udah ah, kamu mau ikut gak?"


Aku terkekeh mendengar ucapan Ayu. Lalu aku bersiap untuk pergi ke pasar malam bersama si Mungil ini. "Jangan lama-lama ya dandannya!" Pekik Ayu. Namun tak kujawab, karena aku memang sebentar saja.


Kali ini dia pake motornya. Walau punya badan yang mungil, tapi dia jago benar bawa motornya. Bisa kenceng-kenceng itu. Mau tak mau aku harus berpegangan dengannya. Kadang memeluk pinggangnya. Untung dia cewek, kalo cowok sih udah baper duluan aku.


"Yu jangan ngebut gini!"


"Hahaha."


Ucapanku tak digubris. Malah semakin cepat dia melajukan motor beroda dua ini. "Yey... udah sampe nih. Seru gak tuh?"


"Seru seru? Yang ada aku mau pingsan tau. Kebiasaan kamu tuh ya gak bisa hilang. Ngerasa jadi pembalap motogp sih."


Ayu terbahak-bahak bangga. Kami berdua turun dari motornya dengan hati-hati. Suasana pasar sudah terlihat ramai dari parkiran ini. Tukang parkir dengan sigap merapikan motor Ayu. Kami juga dikasih karcis parkiran.


Beberapa menit berlalu, kami hanya keliling pasar ini. Wajah Ayu sangat bersemangat melihat berbagai jualan, wahana serta beberapa permainan. "Eh Yu kita mau kemana? Jalan aja dari tadi..." kataku mulai bosan.


"Tunggu dulu, bentar lagi dia datang. Katanya mau seru-seruan gitu."


Aku tak tau siapa yang Ayu tunggu. Tapi aku tak mau terlalu kepo juga, sebab itu bukan versiku. "Nah baru datang nih?"


"Hehehe. Enggak kok, aku tadi main dulu disitu. Seru deh," balas Windah. Rupanya si Ratu Gamer yang kami tunggu. Kemudian dia mengajak kami ke tempatnya bermain tadi. "Jreng jreng... Seru loh! Gak kalah seru kek main game. Bikin rileks malah," jelasnya riang. 


Tapi inikan tempat mandi bola. Jadi temanku ini tadi main disini, bareng bocil-bocil. Huh aneh-aneh aja nih kelakuan. Lalu Ayu dan Windah memaksaku untuk masuk bermain juga, sama kayak mereka. 


***


SAVA Bagian 12. Aku Baik-baik Saja?

Oleh: Yajlia


"Bahagialah kamu disana...

Jangan memikirkan aku disini...

Aku baik-baik saja, tenang-tenanglah disana... aku tak mau kamu bersedih, disana."


Aku rebahkan tubuhku di kasur nan empuk dan hangat. Berbaring seperti ini sambil mendengarkan lagu adalah nikmat yang indah. Karena tak semua orang bisa merasakannya. Bermain mandi bola tadi, cukup menguras banyak energi. Apalagi harus menahan malu diliatin banyak orang. Ayu dan Windah sih tak peduli, mereka terus asyik tertawa sambil bermain. 


"Udah jam 10 aja nih," keluhku sedikit, tapi mataku belum ngantuk. Lalu aku meresapi lagi makna lagu dari band ternama ini. 


"Bahagialah kamu disana...

Jangan memikirkan aku disini...

Ku baik-baik saja, tenanglah disana...

Tuhan tlah menjagamu di sana...


Dan tersenyumlah kamu disana...

Jangan memikirkan aku disini...

Aku baik-baik saja, tenang tenanglah disana...

Aku tak mau kamu bersedih, ku rela kau kini tlah kembali... ke surga."


Tak terasa air mataku mengalir sendiri. Apakah aku sedang baik-baik saja atau malah sebaliknya. Apakah kalian sudah tenang disana, Ayah dan Bunda? Entahlah... aku tak tau, yang jelas aku harus selalu mendoakan mereka. Baik aku dalam keadaan sekarang begini atau bagaimana pun nanti kedepannya. 


Lalu kuputar lagi musik ini, baru beberapa kali saja udah secandu ini. Walau aku bukan anak musik, yang selalu hidup berdampingan dengan alunan melodi. Tapi sesekali mendengar suara merdu dari tiap penyanyi bukanlah hal buruk, apalagi kalo mempunyai makna yang bagus serta bermanfaat. 


Hingga aku mulai sesekali terlelap, alunan nada ini masih terdengar telingaku. Sampai aku benar-benar tidur pulas. 


***


SAVA Bagian 13. Tempatnya Kecewa 

Oleh: Ghofaruddin


Hari-hari berlalu, dan aku masih begini saja. Tak ada perubahan yang berarti. Rencanaku belum ditentukan, apalagi dikerjakan. Ya, sungguh mengecewakan. Aku sendiri kecewa pada diriku. 


Kemarin Ayu mengajakku jalan-jalan, lalu bertemu satu pria tampan. Kami sempat berkenalan dan berbincang-bincang. Meski Ayu juga tertarik dengan si cowok, tapi ia sadar kalo cowok itu semacam menyukaiku. 


"Namaku Andrei, dari kota..." aku dan Ayu membalas memperkenalkan diri juga. Tutur katanya lembut, aroma tubuhnya wangi. Pertemuan pertama ini, aku sudah baper dibuatnya. "Kamu punya pacar gak?"


Andrei hanya tertawa saat Ayu melontarkan pertanyaan barusan. Kemudian ia berkata jika ia single, makanya bisa kenalan dan bicara bebas begini. Hingga akhirnya tujuan lelaki ini akhirnya ketahuan. Ia mengambil dompetku lalu berlari secepat mungkin. 


Itu kekecewaan yang pertama, kecewa ternyata ia bukan seperti yang aku pikirkan. Terus kecewa yang kedua, dari Ayu. Ya teman sekaligus sahabatku itu membiarkan ia pergi begitu saja. "Nanti aku ganti kok Cantik," ucapnya menahan aku mau mengejar copet berwajah tampan. 


Aku yang sudah kecewa dua kali, kini hanya pasrah. Uang di dompetku memang tak banyak, tapi itu berarti buatku. Selanjutnya aku masih menemui kekecewaan demi kekecewaan. Akhirnya aku sadar, jika aku masih tinggal di tempat dimana kecewa akan terus ada, ya dunia ini. Kalo tak mau kecewa, itu bukan disini. Tapi di surga.


***


SAVA Bagian 14. Jadi Pengen Nikah 

Oleh: Syahrullah Hamid


Setelah merasakan beberapa kali kekecewaan, aku pun melihat-lihat handphone-ku. Banyak konten yang orang tampilkan untuk dinikmati, namun aku lebih tertarik untuk membaca saja. Kisah singkat tentang romantisnya sekaligus lika-liku bersuamikan bule. 


Aku membaca tulisan itu dengan saksama, menghayati serta sambil mengolah imajinasi dalam otak. "Maulida... Kok kamu gak nyahut sih pas ibu panggil nak?" tegur Bu Sri yang sudah masuk ke dalam rumahku. 


"Eh maaf Bu, Maulida gak dengar kayaknya Bu."


"Pas Ibu kesini, kamu senyum-senyum sendiri aja. Pasti lagi baca kisah romantis ya?"


Aku tersenyum malu-malu, Bu Sri tertawa lalu duduk disampingku, di sofa sederhana ini. "Ibu juga sering baca cerita-cerita begini. Alhamdulillah suami ibu bisa romantis juga, hehe." Aku meletakkan ponselku, lalu mendengarkan bawelnya Bu Sri. 


"Eh Ibu malah ganggu kamu ya... Ya udah, kamu lanjutin baca ya. Tapi jangan berlebihan, entar pengen nikah kamu. Hahaha. Jangan lupa makan ya camilan dari ibu!"


"Iya Bu, makasih banyak ya... Oh ya Bu, berarti Ibu pengen nikah lagi dong, kalo sering banget baca genre romance." Bu Sri tertawa, lalu bilang kalo memang pengen nikah. Tapi dengan suami aja, ya orang yang sama. 


Tak butuh waktu lama, aku pun lanjut baca. Dan aku makin baper, beneran dong aku jadi pengen nikah. Tapi dengan saha euy? Apakah sama kucing aja? Bukan ye. Aku kan manusia normal.


***


SAVA bagian 15. Sering Kalah

Oleh: Muhammad Naufal 


Ternyata peperangan itu bukan hanya melawan musuh yang nyata, berbentuk manusia, membawa pasukan bersenjata, saling membunuh. Melainkan melawan hawa nafsu diri sendiri juga. Bahkan ini yang lebih sulit. 


Sudah sering aku kalah pada diri ini. Mau melakukan kebaikan dan hal-hal yang lebih bermanfaat, tapi tak bisa melakukannya. Sebab apa, ya sebab kalah oleh kehendak yang lain, yang dirasa tak cukup penting. 


"Erni! Mau ikut kita gak ke pengajian di kampung sebelah? "


"Mmm... gimana ya, nanti aku kabarin lagi ya, kalo aku bisa ikut." Begitulah jawabanku pada tetanggaku yang berpakaian syar'i. Dan nanti pasti aku beralasan apa saja untuk menolak ajakannya. Padahal malas dan malu saja. Itu bukan satu dua kali, tapi sering. 


Dan banyak lagi menurutku kekalahan yang kualami dalam melawan hawa nafsu ini. "Eh tau gak..." ucap Selvia memulai gosipnya, dan aku ikutan juga. Sungguh tak bisa menolak untuk menggosip atau ghibah. Padahal tau berdosa. 


"Yuk foto bareng Cantik!" Ajak Muna, yang sering aku setujui pun. Lalu dia memposting foto itu di media sosialnya. Padahal aku udah berniat buat gak mau posting-posting wajahku ini. 


Sungguh, aku sering kalah. Tapi aku gak boleh nyerah. Sebab ini belum game over or end.


***


SAVA Bagian 16. Untuk Suami Tercintaku

Oleh: Saffna 


Hari pun berganti hari, aku merasakan kembali keheningan dan kesepian. Teman-temanku pada sibuk dengan planetnya masing-masing. Dan aku gak ada kegiatan yang berarti. 


Akhirnya timbul rasa ingin menulis di kertas yang lama tak disentuh, terakhir kali lulus SMA. Entah kenapa ide yang muncul malah tentang jodoh, ya untuk suamiku kelak. 


Aku beri judul di atas kertas itu, "Untuk Suami Tercintaku" lalu mulai dari paragraf pertama. "Assalamualaikum Sayang, Suamiku... Hehe. Aku nulis ini buat kamu baca nanti ya. Semoga kamu paham dan gak ngejek tulisan aku ini ya... "


"Baiklah, aku mau bilang nih kalo aku udah cinta kamu, ya walau belum ketemu sih. Juga mau bilang makasih, sebab udah milih aku nanti sebagai istri kamu. Serta tentu aja aku minta maaf, karena aku bukan wanita yang tinggi ilmu agamanya, bisa ngambek, nyebelin, manja, cengeng, nangis, bad mood dan ngomel-ngomel sama kamu nanti ya."


"Entah kapan kita bakal ketemu dan langsung hidup bersama. Aku kangen kamu, aku pengen dipeluk kamu, ditenangin kamu. Aku udah capek Sayang. Sendiri mulu, serta menghadapi masalah ini sendirian tanpa kamu. Aku harap kamu bakal nemenin aku sampai akhir hayat ya. Kita sama-sama menuju Surga-Nya ya."


"Hmm... untuk hari ini, segini aja dulu ya. Mungkin aku lanjutin lagi kalo mood sih, hahaha. Aku yakin kok kamu sabar dan mau setia sama aku, kalo enggak... Ya aku bisa nangis aja... Gak bisa larang kamu, asalkan kamu bahagia."


***


Huh... capek juga ya nulis beberapa paragraf gitu, mikirin kata-kata dan kalimat yang pas. Serta bisa berhenti ide yang muncul di kepala. Ah udah lah, yang penting aku udah nulis buat suami tercintaku kelak. Sehat-sehat ya jodohku, disana.  Jangan memikirkan aku disini, aku baik-baik saja, tenang-tenanglah disana, aku tak mau kamu bersedih... Disana... Hahah, malah nanyi aku ini.


***


SAVA Bagian 17. Hilang Hape

Oleh: Iramandah Gia Linna


Keesokan harinya, aku ragu-ragu mau lanjut nulis. Tak berapa lama, terdengar suara temanku yang ahlinya kuliner. "Erni, Erni... gawat is darurat. Tolong aku, help me!" panik si Muna yang tiba-tiba. Ia juga membawa kresek yang biasanya berisi makanan dan minuman. Gak mungkin isinya bom. 


"Tenang dulu Mun, rileks, bawa santai. Duduk dulu gih..." pintaku padanya. Setelah dia tenang, maka cerita pun dimulai. Yang mana intinya hape-nya hilang. Padahal tadi pas beli makanan, ada aja tuh. Nah sekarang kok hilang. Atau mungkin ketinggalan di toko makanan tadi? 


Aku memikirkan kemungkinan yang bisa Muna lakukan, hingga dia lupa dengan ponselnya itu. "Mun, kamu tadi sempat singgah ya? Makan dulu gitu, walau cuma bentar?" selidikku. Matanya membelalak lalu mengangguk. "Nah betul, tadi aku sempat makan roti ini tadi. Di kursi nganggur di jalan sana," jelasnya. 


Tak butuh waktu lama, aku pun mengajak dia tuk kembali kesana. Muna terlihat ragu, aku meyakinkannya agar mencoba dulu. "Di kursi mana tadi Mun?" tanyaku lagi. Dia menunjukkan ke arah kursi di depan sana. Ternyata cuma ada kursi, tak ada meja. Jadi kurasa Muna tak meletakkan hp-nya di bawah, jika bukan di meja. 


"Kalo di toko makanan tadi, kamu yakin gak ketinggalan?" 


"Emm, gak tau deh. Aku rasa enggak sih. Tapi kesana dulu kali ya?"


Kami pun kesana untuk memastikan keberadaannya. Si penjaga toko bilang kalo Muna tadi asyik main hape saja, bahkan sampai keluar dari toko, jadi gak mungkin tertinggal disini. Beliau menawarkan untuk cek cctv juga, tapi kurasa penjelasan beliau tadi sudah cukup. 


Dan aku kepikiran satu hal yang terlupa. "Ayo cepat ke rumahku Mun!" ajakku sedikit tergesa-gesa. "Kok balik ke rumahmu sih. Kan hape-nya belum dapat Cantik..." balasnya dengan nada sedih. Tapi aku memaksanya agar tetap pulang.


Instingku mengatakan pas Muna sempat singgah sebentar, hape-nya dia taruh di dalam kresek belanjaannya barusan. Setelah sampai rumah, aku segera mengambil kresek itu. "Aku lagi gak mood makan Erni. Aku masih mau cariin hape aku dulu..."


Ucapannya tak kuhiraukan, lalu benar saja, aku dapat ponselnya di dalam kresek itu. Dia tertawa malu.


***


SAVA Bagian 18. Sang Sutradara Tau Kok. 

Oleh: Muhammad Bakri Umar 


Setelah Muna pulang, aku sendiri lagi, kesepian lagi. Air matapun menetes tak terbendung. Kesedihan tanpa sebab begini, biasa terjadi. Merasa gak kuat, mau menyerah saja, tanpa motivasi.


Namun, aku coba berpikir positif. Sang Sutradara tau kok aku ini bagaimana. Aku yang sedih, aku yang merasa tak punya tujuan, bisa kecewa, nangis tiada alasan, dan keinginan untuk mempunyai pasangan. Tidak ingin sendiri lagi. 


Rasanya aku tidak mungkin dijadikan tokoh utama dalam kisahku tanpa kekuatan dan ketabahan dari-Nya. Sebuah lagu religi pernah terucap, "Sedih sementara, bahagia sementara..." jadi ada batas waktunya kok. 


Sang Sutradara juga tau, karakter tokoh nyata ini macam apa dan seperti apa. Hingga ujian, masalah, cobaan, musibah dan takdir kita, tak mungkin di luar kemampuan kita. 


Telponku berdering, Selvia mengajakku makan seblak bareng. Aku pun jadi senang kembali. Begitulah di dunia ini. Sebentar saja kok, kalau pun lama, "Semua pasti berlalu." Itu kata-kata bijak yang pernah kutau. 


"Yuk naik Cantik!" titah Ayu di depan rumahku. Dia menungguku di motornya.  Teman mungilku ini membuatku harus bersyukur, harus menjalani hidup ini. Walau terkadang menghadapinya dengan, "Santai dulu gak zih. Hahah..."


Dan sekali lagi, Sang Sutradara tau kok apa yang baik untuk kita. Juga yang gak baik untuk kita. Tinggal kita mau bersyukur dan bersabar aja atau malah sebaliknya.


***


SAVA Bagian 19. Kok Cowok Tega?

Oleh: Neily 


Baru aku dan Ayu sampai di warung seblak, disana sudah ada Muna yang telah asyik makan seblaknya, Selvia yang menenangkan temannya, dan ada Windah yang masih sibuk dengan game-nya. 


Ayu sempat bertanya dengan isyarat mata, dijawab dengan "Shttt," oleh Selvia. "Kenapa cowok bisa setega itu?" lirih teman Selvia itu, namanya Risma. 


Kami semua tak ada yang menjawab pertanyaannya. Takut salah omong, malah tambah sedih Risma nanti. "Eh kalian pesan dulu gih seblaknya, mau level berapa. Aku makan duluan nih, soalnya nanti pasti nambah kok..." ujar Muna terkekeh lalu lanjut melahap seblaknya. 


Ayu pun memesan seblaknya. Pesanan untuk Selvia, Risma dan Windah juga baru sampai. Aku duduk mendekati Selvia. Namun tak terduga, Risma yang tadi menangis sedih, kini semringah. Dia mulai memakan makanannya. "Nah gitu dong, jangan sedih dulu. Kita makan bareng-bareng. Yang bayar kan si Muna, hehe. Iya kan Mun?" canda Selvia. Kami semua tertawa, kecuali Muna yang tak peduli. Makan dan makan saja yang dia pedulikan saat ini. 


"Jadi gini ceritanya..." seloroh Risma sambil makan seblak. Ternyata dia cukup bawel juga kayak Selvia. Dia bercerita tentang kesedihannya. Tentang cowok yang ninggalin dia, yang tega pergi menjauh darinya. 


"Kalo menurutku, si cowok itu gak mau nyakitin hati kamu jika terus bersama. Contohnya dalam game, ada senjata langka yang hilang di tengah perjalanan. Padahal mendapatkannya dan mempertahankannya itu sulit. Beuh aku kecewa banget, pas hilang tuh senjata." Penjelasan Windah itu membuat kami bingung, ini cewek membahas cinta atau game sih. 


Tapi yang kupaham dari ucapan Windah tadi adalah dibalik teganya cowok Risma pasti ada hikmahnya. Yang jelas katanya, si cowok gak mau nyakitin hati mereka berdua jika ujungnya nanti gak jodoh. Mending kecewa sekarang, ketimbang nanti yang lebih besar lagi kekecewaannya. 


Mungkin karena keadaan, si cowok mau fokus kuliah atau kerja tanpa sering komunikasi. Kan bisa saja menyampaikan rindu dalam doa, curhat pada Sang Sutradara. Apalagi mereka belum halal. Kalo aku jadi Risma sih, bakal perih juga hati. Tapi menghargai keputusan orang juga baik.


***


SAVA Bagian 20. Begitulah Ceritanya 

Oleh: Erni Maulida


"Jadi begitu ceritanya Bang. Kamu paham gak Sayang?"


"Paham dong Sayang. Alhamdulillah sekarang kamu gak sendirian lagi, gak sedih lagi dan punya tujuan hidup kan Sayang..."


Aku mengangguk lalu menyandarkan kepalaku ke bahu suami tercintaku. Aku telah banyak bercerita tentang kehidupanku, sebelum ia menikahiku. Walau tak pernah pacaran, baru kenal dan belum punya rasa cinta yang dalam, aku merasa sangat bahagia mempunyai suami sepertinya. 


Kemudian ia menatapku, senyumannya membuatku salah tingkah. "Yuk kita keluar sebentar Sayang! Nanti Abang ceritakan juga kisah-kisah hidup Abang ya. Sambil menatap indahnya langit yang berwarna biru malam, di tambah gemerlapan bintang-bintang."


Kami pun keluar rumah. Menuju halaman, duduk santai berdua. Menikmati angin malam yang sejuk dan keheningan tanpa keributan. Kehidupanku sekarang jauh berbeda dengan yang sebelumnya. Aku bersyukur telah sampai ditahap ini. 


"Cie-cie ada yang lagi romantis nih. Hahaha," goda bu Sri diikuti tawa suaminya, pak Ahim. Aku dan suamiku cuma tersenyum malu mendengar itu. "Tenang Sayang, mereka juga lagi romantis begitu. Kita fokus kita aja..." tutur suamiku. 


Dan kisahku sampai disini, dari yang awalnya ragu memilih cinta, pendidikan atau kerjaan. Kini telah jadi seorang istri. Menjalani hari-hari yang sulit hingga bertahan sampai sekarang, tak akan bisa kalo tak sabar dan syukur. 


Tamat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sana Poligami!

SBDN Bab 11. Kok Bisa Setia?

Suami Bawel dan Nyebelin. Bab 8. Diundang Podcast