Kisah Pangeran Terbuang. Bab 10 Tamat

Mata Eryn perlahan berubah menjadi kosong. Cahaya merah samar mulai menyelimuti tubuhnya, pedangnya mengeluarkan aura hitam dan dia berdiri dengan kaku seperti boneka. Eryn telah dikendalikan. Dan akhirnya, pertarungan berada pada tiga arah yang seimbang.


Liana hanya tersenyum dingin, matanya yang kini bersinar dengan cahaya merah menatap Chimera dan Kael. "Eryn adalah milikku," katanya. "Dan kalian semua... hanya gangguan kecil dalam jalanku."


Di tengah heningnya malam, hanya suara tawa lembut Liana yang terdengar, membekukan hati mereka yang masih hidup.


***


Di penjara ini lagi, yang hanya diterangi oleh cahaya remang dari obor di dinding. Aku duduk bersandar pada dinding batu dingin, memikirkan kembali semua yang telah terjadi. Suara keributan dari luar tiba-tiba memecah keheningan. Dentang senjata, teriakan, dan langkah kaki yang tergesa-gesa terdengar semakin mendekat.  


"Apa yang terjadi di luar sana?" gumamku, merasakan firasat buruk.  


Kemudian, pintu penjara terbuka dengan suara berderit yang keras. Tak ada penjaga di sana—hanya pintu terbuka dan lorong gelap yang mengundangku keluar.  


Dengan hati-hati, aku melangkah keluar. Istana yang sebelumnya dipenuhi penjaga kini sepi, kecuali suara pertempuran di kejauhan. Saat aku tiba di alun-alun kerajaan, pemandangan yang mengejutkan menantiku.  


Di tengah alun-alun, Sang Raja berdiri di atas podium. Wajahnya yang dulu angkuh kini penuh kesedihan dan kehancuran. "Aku telah kehilangan segalanya... istriku, putraku, dan kerajaanku," katanya pelan, suaranya terdengar seperti bisikan terakhir dari jiwa yang hancur.  


Sebelum ada yang bisa menghentikannya, Raja menghunus pedangnya sendiri ke jantungnya. Tubuhnya terjatuh dengan suara berdebum, dan darah mengalir di bawahnya, bercampur dengan air hujan yang mulai turun.  


Aku hanya memandangnya tanpa kata. Tragis, tapi tidak lagi mengejutkan. Tidak ada lagi yang bisa kulakukan untuknya. Aku berbalik dan mulai berjalan keluar dari alun-alun, menuju tempat di mana kelompokku mungkin berada.  


***  


Di perjalanan, pikiranku mulai mencerna segalanya. Kata-kata terakhir Malyster terus terngiang, culik Liana atau bunuh Raja.  Dua pilihan itu terasa mustahil. Tapi apakah saat itu Malyster sudah tahu identitas asli yang mengendalikan Raja? Oh Malyster, kenapa kau mati cepat sekali.


Saat aku tiba di lokasi mereka, pemandangan yang menyambutku adalah mimpi buruk. Lirien tergeletak tak bernyawa, tubuhnya dingin dan tak bergerak. Valoric terkapar di tanah, wajahnya pucat dan tubuhnya berlubang. Kael, dalam amarahnya, sedang bertarung melawan Mera, yang kini telah berubah ke wujud chimeranya yang mengerikan. Tapi lebih terlihat seperti, Eryn yang melawan mereka berdua, tatapan matanya kosong, seperti di bawah kendali seseorang.  


"Ini kekacauan," gumamku, merasa lelah oleh semua tragedi ini.  


Aku melangkah ke tengah-tengah medan, mencoba menghentikan pertempuran. Kata-kata saja mana mungkin cukup, aku merapalkan mantra untuk mengeluarkan sihir es yang cukup kuat untuk menahan mereka. Cukup kurasa...


Udara di sekitar mulai memutih. Lingkaran simbol sihir muncul dibawah kaki mereka, es biru pekat seketika keluar menangkan mereka semua. Kael dan Chimera, serta Pangeran Eryn, terhenti sejenak, terkejut oleh kekuatan sihirku.


Kael menoleh ke arahku. "Ark, kau masih hidup rupanya."  


"Ya, ya, maaf saja karena mengecewakanmu," jawabku dengan tenang, meskipun di dalam hati, aku bingung bagaimana menyelesaikan semua ini. "Sebelum itu, kenapa kekacauan ini bisa terjadi?"  


Namun, sebelum aku bisa melanjutkan, sosok bayangan hitam dari penjara muncul kembali. Kali ini, dia menunjukkan dirinya dengan lebih jelas. Sosok itu adalah seorang pria berwajah dingin dengan sayap gelap yang memancarkan aura kematian.  


"Aku adalah Noctarion," katanya, suaranya seperti gema dari dunia lain. "Dan permainan ini telah berakhir."  


Noctarion mendekati Liana, membawa sebuah benda berbentuk jantung yang bercahaya merah darah. Dia menyerahkannya pada Liana, yang menyambutnya dengan senyuman penuh kemenangan. "Tujuanku telah tercapai," katanya lembut. "Tidak ada lagi yang bisa menghentikanku memiliki Eryn sepenuhnya."


Aku mencoba mendekati Eryn, berusaha menyentuh akal sehatnya. "Eryn, dengarkan aku. Sadarlah! Kau tidak bisa membiarkan ini terus terjadi. Malyster percaya padamu!" 


"Eryn," bisik Liana, "sang Raja telah tiada, si pengasuhmu, Malyster itu juga telah tiada, Lirien dan Valoric, kedua sahabatmu pun juga telah meninggalkanmu. Hanya akulah satu-satunya orang yang akan menyayangimu, Eryn.."


Eryn menoleh padaku, matanya yang penuh dengan kekosongan. "Kerajaan ini tidak berarti apa-apa bagiku tanpa Liana."  


Aku memejamkan mata, mengingat kata-kata Malyster, mencoba menirunya. "Eryn, ini adalah waktumu untuk memilih. Kau bisa memilih cintamu, dan kehilangan segalanya. Atau kau bisa bangkit sebagai raja dan memulihkan kerajaan Everwood ini!"  


Liana tertawa pelan. "Oh, Ark. Kau pikir kata-katamu bisa melawan apa yang telah kukendalikan? Eryn adalah milikku sekarang."  


Aku terdiam. Dia benar. Tak peduli apa yang kukatakan, Eryn sudah memilih.  


Liana mengambil jantung itu, dan dalam sekejap, aura gelap menyelimuti dirinya. Noctarion memandangku sekali lagi. "Kalian sudah kalah."


Noctarion menatap Liana. "Sekarang kita menguasai kerajaan itu, Liana!"


"Hah?" Sahutnya meremehkan, "Aku tidak peduli lagi dengan kerajaan itu, aku sudah menemukan sesuatu yang lebih besar. Eryn"


"Ta-tapi, kau bilang kita akan menguasai kerajaan itu bersama dan aku akan jadi rajanya..." Belum sempat Noctarion menyelesaikan kata-katanya mereka sudah hilang. Meninggalkan kehancuran di belakangnya.


***



Epilog



Aku berdiri di medan pertempuran yang hening. Lirien telah pergi. Valoric tidak akan bangun lagi. Mera terluka parah, sepertinya dia memang bukan tandingan Kael, sihir es ku tadi mungkin adalah penyelamatnya, dan Kael sendiri... dia hanya berdiri dengan wajah kosong, tanpa sepatah kata. Seakan dia merasa bersalah.


Liana... Awal mula permasalahan ini, sosoknya memang cantik, dan membuat semua orang ingin melindunginya, atau lebih tepatnya memilikinya. Seorang wanita yang mampu membuat kacau sebuah kerajaan.


"Apa yang tersisa untuk kita?" tanyaku pada diriku sendiri, suaraku hampir tidak terdengar.  


Jawabannya datang dari dalam diriku:   


Pelajaran bahwa kekuatan tanpa kebijaksanaan hanya akan membawa kehancuran. Pelajaran bahwa cinta yang buta bisa menjadi senjata yang mematikan. Dan pelajaran bahwa kadang-kadang, pilihan yang salah dibuat karena kita terlalu terlambat untuk memahami kebenarannya.  


Kami kehilangan beberapa teman malam itu. Tapi dalam kehilangan itu, ada harapan untuk bangkit. Jika aku bisa memperbaiki semua ini, aku akan memulainya dengan satu langkah kecil yakni memahami siapa musuh sebenarnya dan bagaimana menghentikannya.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sana Poligami!

SBDN Bab 11. Kok Bisa Setia?

Suami Bawel dan Nyebelin. Bab 8. Diundang Podcast