Perang Sambal di Dapur (DevieShinta)
Hari itu Minggu pagi. Matahari baru saja nongol malu-malu dari balik genteng rumah tetangga, burung-burung berkicau, dan... di rumah kecil pasangan Budi dan Sari, suara yang paling terdengar justru bukan kicau burung, melainkan suara mereka berdua yang sudah seperti komentator bola.
“Yah! Sambalnya jangan diulek kayak gitu dong, jadi bubur cabai tau nggak?!” bentak Sari dari pintu dapur.
Budi, dengan singlet belel warna abu-abu yang seolah punya kenangan perang sendiri, langsung berhenti ngulek. “Mah, yang penting pedesnya kan? Orang makan sambal itu buat pedes, bukan buat liatin bentuknya!”
“Ya jelas penting! Sambal itu soal seni! Kalau uleknya nggak rata, rasanya juga kacau.”
Budi mendengus. “Heran, heran. Aku niat bantuin, malah dimarahin. Dari kemarin juga gitu. Aku salah mulu.”
Sari menatapnya tajam. “Yaudah! Kalau gitu aku mogok masak sekalian!”
“Bagus! Aku juga mogok ngulek!”
Suasana hening sejenak. Tegang. Mata mereka saling bertatapan seperti dua jagoan film India sebelum duel.
Lalu... krukkkk.
Perut Budi bunyi keras sekali. Dari ruang tamu, anak mereka, Rani (umur 8 tahun), yang lagi nonton kartun teriak, "Ayah lapar tuh! Mama, tolong masakin cepetan dong!”
Budi garuk kepala, Sari silang tangan. Sama-sama gengsi.
“Ya udah, kita pesen makanan aja!” seru Budi sok tegas.
Sari nyengir sinis. “Silakan pesen. Tapi kalo sambalnya nggak pedes, jangan nyalahin aku.”
Budi dengan penuh percaya diri langsung buka aplikasi makanan online. “Tuh kan gampang, tinggal klik-klik, lima belas menit sampe.”
Rani excited. “Yeay, aku mau ayam geprek!”
Begitu makanan datang, Budi dengan gaya heroik membuka bungkusannya. “Nah, biar kalian tau kalau ayah ini bisa ngurus semuanya!”
Mereka makan bersama. Tapi begitu sambalnya dicocol...
“Ya ampuuun,” wajah Budi langsung masam, “ini sambel apa sirup? Manis banget!”
Rani pun mengernyit. “Hah? Sambel kok kayak saus tomat?”
Sari terbahak. “Tuh kan, udah kubilang. Sambal itu nggak bisa sembarangan. Besok aja aku buktiin bikin sambal yang bener.”
Budi masih gengsi. “Oke, kalau gitu besok kita adu rasa sambal! Aku bikin versi aku, kamu bikin versi kamu. Kita lihat siapa yang menang!”
Sari mengangkat alis. “Siap! Yang kalah cuci piring seminggu penuh!”
Tantangan resmi dimulai.
***
Besok paginya, dapur mereka berubah kayak arena lomba masak di televisi.
Sari tampil simpel tapi elegan: celemek polkadot, rambut diikat, ulekan kesayangan sudah siap di meja.
Sementara Budi... tampil kocak dengan celemek bergambar ayam goreng cepat saji dan handuk kecil melingkar di leher kayak chef profesional KW.
“Pertandingan Sambal Tingkat Nasional resmi dimulai!” Rani jadi komentator sambil ketawa ngakak.
Sari mengulek dengan tenang. Gerakannya luwes, irama ulekannya konsisten. Bau cabai dan tomat segar menyebar harum.
Budi? Nguleknya brutal. Cabai dihantam kayak musuh bebuyutan.
“Haaaah! Rasain kau, cabai! Aku luluhin kamu sampe halus!”
Sari melongo. “Ya Allah, Yah... itu ngulek sambel apa latihan tinju?”
“Beda aliran, Mah. Seni ulekanku berjiwa!” jawab Budi bangga.
Setelah setengah jam, kedua sambal siap dihidangkan.
Rani bertindak sebagai juri. Ia mencocol sambal buatan ibunya terlebih dulu. “Hmm... pedesnya pas, gurih, ada tomatnya... enak banget, Ma!”
Sari tersenyum penuh kemenangan.
Giliran sambal ayahnya. Rani ambil sedikit, taruh di lidah. Diam. Lalu tiba-tiba—
“PEDESSSS!!!” Rani jerit sambil lari ke kulkas cari air.
Budi panik. “Loh, masa sih segitunya?”
Dia pun ikut nyicip.
Hasilnya: mulut langsung kebakar. “Astaga, lidahku... kayak disetrika!!”
Sari ngakak sampai perut sakit. “Ya ampun, Yah. Ini sambel apa bahan bakar roket?!”
Budi megap-megap sambil kipas-kipas mulutnya. “Tapi... pedesnya mantap kan?!”
“Mantap apanya? Itu sambal bisa dipakai buat usir maling!”
***
Siang harinya, tetangga sebelah, Bu Yani, datang numpang nebeng Wi-Fi. Begitu mencium bau sambal, dia nyeletuk, “Eh, tadi pagi aku kira ada kebakaran, ternyata sambalnya Pak Budi ya? Bau cabenya sampe ke jalan, bikin aku batuk-batuk!”
Sari makin ngakak, Budi makin malu.
“Eh, tapi aku penasaran deh... boleh cicip nggak?” tanya Bu Yani.
Sari dengan licik menyodorkan sambal Budi. “Silakan, Bu.”
Bu Yani ambil sedikit pakai kerupuk. Baru dua detik masuk mulut, matanya langsung berair. “Ya Allah, Gusti! Lidah saya kayak diajak jogging!”
Sari terbahak lagi. “Nah kan, bener! Sambel suami saya cocoknya buat lomba ketahanan tubuh!”
Budi cuma bisa manyun. “Yaelah, semua orang kompak ngetawain aku...”
***
Malamnya, mereka bertiga duduk di meja makan. Sambal Sari dipakai semua orang, sambal Budi... dijadikan bahan candaan.
“Yah, sambel ayah bisa dipakai buat prank temen-temen sekolah,” canda Rani sambil ngakak.
Budi menatap sambalnya yang tersisih di pojokan. “Nih anak, nggak ada hormatnya sama karya seni ayahnya...”
Sari tersenyum lembut, menepuk bahunya. “Udah, yang penting kita bisa ketawa bareng. Sambel boleh beda, tapi meja makan kita tetap sama.”
Budi akhirnya ikut senyum. “Iya sih... tapi aku tetep nggak mau cuci piring seminggu penuh!”
Sari mendekatkan wajahnya, berbisik, “Nggak usah. Kamu cukup cuci ulekan tiap hari aja. Biar kapok.”
Rani menepuk meja. “Deal! Papa tukang cuci ulekan nasional!”
Mereka pun tertawa bareng.
Dan sejak hari itu, di rumah kecil mereka, sambal bukan cuma bumbu makanan. Tapi jadi bumbu kehidupan—penuh rasa pedas, penuh drama, tapi ujungnya selalu manis karena ditutup dengan tawa.
Komentar
Posting Komentar