Postingan

Guru Sinonim-man (Me Ffulan)

Sinonim itu artinya persamaan kata, tapi aku memberikan gelar Guru Sinonim-man kepada salah satu guruku, dengan arti yang berbeda. Apakah guruku itu suka sekali membahas tentang sinonim kata hingga kusebut Sinonim-man? Bukan ye... bukan itu alasannya. Cerita begini, waktu itu temanku yang bandel nomor satu di kelas dan aku nomor satu dalam ranking kelas, sedang bekerja sebagai kuli, mengerjakan jalan yang diperbaiki. Yah, beginilah nasib kami. Bersyukur kami masih bisa bekerja, meski harus begini. "Eh Jer, bukankah itu rombongan guru? Mending lu sembunyi sana, masa anak pintar kerja begini... sana biar gua di sini!" suruh Klona seolah mengusirku. Tetapi aku tak menghiraukannya, biarlah para guru tau keadaan muridnya sekarang menjadi begini. "Aku lanjutin aja, biar cepat kelar nih."  Rombongan guru tersebut melewati kami, tentu ada yang mengenali kami. Tak satu pun yang menyapa atau sekadar senyum kepada kami. Hingga seorang pria yang cukup tua menghampiri kami. ...

Perang Sambal di Dapur (DevieShinta)

Hari itu Minggu pagi. Matahari baru saja nongol malu-malu dari balik genteng rumah tetangga, burung-burung berkicau, dan... di rumah kecil pasangan Budi dan Sari, suara yang paling terdengar justru bukan kicau burung, melainkan suara mereka berdua yang sudah seperti komentator bola. “Yah! Sambalnya jangan diulek kayak gitu dong, jadi bubur cabai tau nggak?!” bentak Sari dari pintu dapur. Budi, dengan singlet belel warna abu-abu yang seolah punya kenangan perang sendiri, langsung berhenti ngulek. “Mah, yang penting pedesnya kan? Orang makan sambal itu buat pedes, bukan buat liatin bentuknya!” “Ya jelas penting! Sambal itu soal seni! Kalau uleknya nggak rata, rasanya juga kacau.” Budi mendengus. “Heran, heran. Aku niat bantuin, malah dimarahin. Dari kemarin juga gitu. Aku salah mulu.” Sari menatapnya tajam. “Yaudah! Kalau gitu aku mogok masak sekalian!” “Bagus! Aku juga mogok ngulek!” Suasana hening sejenak. Tegang. Mata mereka saling bertatapan seperti dua jagoan film India sebelum duel...

Duel Tak Terduga (Tanpa Nama)

 Di malam yang tenang, Lee, ahli beladiri dari sekte Burung Puyuh, bersemedi di puncak Gunung Bujangan untuk memperkuat jurus pamungkasnya. Namun, udara tiba-tiba berubah. Dari hawa dingin gunung yang sunyi jadi debu panas khalayak ramai. Ia masih menutup mata, gangguan seperti ini masih biasa. Namun, sekarang suara yang berubah. Yang tadinya tenang jadi riuh sorakan manusia. Hatinya mulai bimbang. *Whooss* Sebuah pedang besar membelah lurus ke arahnya. Kedua telapak tangannya reflek mengapit mata pedang itu. Ini nyata. Ia akhirnya membuka mata... Sebuah arena luas, dikelilingi oleh ratusan penonton, wajah-wajah yang tidak dikenal, dan... pakaian yang asing. _Apa sebenarnya ini?_ Penonton bersorak. Seperti sebuah keajaiban terjadi. Seorang manusia bisa menahan pedang besar dengan tangan kosong. Pria yang menyerangnya tadi mundur beberapa langkah. "Kau, lumayan juga anak muda!" Wajahnya sangar dihiasi beberapa luka, tangannya yang kekar menunjuk ke arah Lee yang masih kebingun...

Cahaya dari Barat (Wianzikry)

Pada abad ke 5, ketika laut-laut besar masih dijelajahi layar kayu dan angin musim, seorang pendakwah muda bernama Abdul Karim berlayar dari negeri jauh di barat. Ia datang dengan tujuan mulia: menyebarkan cahaya Islam ke negeri-negeri timur yang belum pernah mendengar kalimat tauhid. Sampai ia tiba di sebuah pulau kecil di timur Nusantara, sebuah negeri dengan hutan lebat, gunung menjulang, dan masyarakat adat yang masih memuja arwah leluhur. Pertemuan Pertama Abdul Karim singgah di sebuah desa nelayan bernama Watu Layar. Warga desa menyambut dengan penuh curiga, sebab mereka belum pernah melihat pendatang berkulit sawo matang dengan jubah putih dan lidah asing. Ketua adat, La Wira, datang bersama para tetua. Di sisinya, seorang gadis anggun berwajah teduh berdiri. Dialah Ningrum, putri semata wayang La Wira. La Wira: “Siapa engkau, orang asing? Apa maksud kedatanganmu di tanah kami?” Abdul Karim menunduk hormat. “Aku hanyalah seorang pengembara. Aku datang bukan untuk merebut tanahmu...

Merdeka? (Me Ffulan)

  Negara kita barusan ulang tahun kemerdekaan di 17 Agustus 2025 kemarin, tapi benarkah kita telah merdeka? Semakin hari, semakin tak enak saja berita yang saya lihat. Dan mungkin kamu juga tau... Perkara pajak, kalo bisa apa saja dipajakin untuk menambah keuangan negara, katanya... Nyatanya untuk mengenyangkan perut sendiri dan kelompoknya. Gaji atau tunjangan pejabat malah ditambah, bukan pendapatan penduduknya yang bertambah. Belum lagi kasus korupsi yang telah terungkap, kini menghilang bahkan tiada kasus barunya. Eh, berarti gak ada korupsi tah? Entahlah... Tentang tanah, bisa mereka kuasai hanya bermodalkan alasan tak boleh tanah nganggur tanpa dikelola. Miris ya? Merdeka tapi dijajah. Bukan oleh penjajah nan kejam memakai cambuk dan senjata, tapi pengguna kekuasaan dan wewenang. Oh ya, kamu pernah gak berurusan dengan mereka. Berlagak layaknya bangsawan yang harus dihormati. Saat waktu bertugas, sibuknya bagai usahawan miliarder, hingga tak sempat mengurus kepenting...

Kunci di Dasar Sanubari (DevieShinta)

 "Raka! Saya mau pergi dulu, ada urusan mendadak. Tolong kamu bersihkan tumpukan buku puisi di sudut rak, ya. Setelah itu kamu boleh pulang." Pak Wiryo selaku pemilik gedung perpustakaan tua peninggalan zaman kolonial itu langsung bergegas pergi, setelah memberikan instruksi kepada pria muda berusia 25 tahun tersebut. Sedangkan Raka, hanya mengangguk patuh tanpa bertanya apapun. Raka segera mengambil kain lap dan kemoceng yang tergantung di sudut ruangan. "Banyak sekali debunya," gumam Raka. Dirinya memandangi tumpukan buku puisi yang sudah mulai menguning dan usang sebab dimakan oleh waktu. Tangannya bergerak lincah meraih buku-buku tersebut dan mengelapnya dengan telaten. Sesekali ia bergumam menyanyikan lagu pop kesukaannya, untuk menemani dirinya dalam kesunyian. Waktu yang sudah menunjukkan pukul tujuh malam membuat perpustakaan mendadak hening lantaran para pengunjung lebih memilih pulang. Suasana perpustakaan tua tersebut memang cukup menyeramkan dikala malam...

SBDN Bab 16. Pentol

  Kali ini Napisa tidak menangis. Dia hanya kesal suaminya itu membahas poligami. Akan tetapi, Napisa yakin jika Hafni cuma iseng dan tak berniat ingin berpoligami. Walau begitu, Napisa tetap sebal dengan sikap nyebelinnya suaminya itu.  Di sofa, Hafni bermain game di ponselnya. Ia dan Meff telah selesai membahas tentang yang tidak disukai kaum hawa. "Bang..." ucap Napisa menghampiri Hafni. Lelaki itu melepas ponselnya dan membuka kedua tangannya, agar istrinya memeluknya.  "Iya, iya Sayang. Udahan ngambeknya ya Sayang? Masih kesal sama Abang? Kangen ya sama Abang, hehe. Abang juga kangen loh sama istriku tercinta. Iya-iya peluk aja Abang erat-erat. Abang bolehin kok. Yang penting, asalkan kamu bahagia... Owohooo wooo, asalkan kau bahaaagiaaa..."  Ucapan Hafni diteruskan dengan nyanyian seperti itu, membuat Napisa sedikit tenang, damai, dan mulai tak kesal lagi. Namun, perempuan itu bertanya untuk memastikan jika suaminya tadi cuma iseng saja. Tidak ada keinginan be...